Minggu, 28 Agustus 2011

Berlari

Mari berlari meraih impian

                Retno mengencangkan tali sepatunya. Mengawasi lapangan yang sudah sepenuhnya disinari matahari. Dia bangkit berdiiri, bersedia dan mulai berlari. Retno berlari dengan kencang menembus pagi yang masih dingin. Ia mengelilingi lapangan bundar. Seputara, dua putaran, hingga putaran ke enam ia mulai berlari melambat dan putaran ketujuh ia berhenti di tempat awal dia berlari.







Semua adalah keterbatasan saja
                Retno pulang ke rumahnya, jika memang masih layak di sebut rumah. Sebuah bangunan bilik yang sudah using dimakan usia. Retno pernah memohon ayahnya untuk memperbaiki rumahnya, ayahnya saat itu hanya menatap Retno dalam-dalam dan berkata “Jika bapak mampu, tanpa kamu pinta pasti bapak perbaiki.”. sejak saat itu Retno tak sanggup lagi mengatakan apa-apa lagi tentang rumah mereka. Dia berjanji, dialah yang akan memperbaiki rumahnya. Suatu saat dia pasti bisa. Walaupun dia masih 14 tahun, tapi itu bukan masa

Sabtu, 27 Agustus 2011

Kakek


“Kakek, aku akan berusaha jadi cucu yang terbaik. Apapun yang terjadi.”, kata anak perempuan berambut ikal itu di hadapan nisan kakeknya. Lalu ia sejenak terdiam menutupkan mata. Rupanya ia tengah memanjatkan doa-doa untuk sang kakek yang

Selasa, 02 Agustus 2011

Passive Aggressive

Ada yang sering bilang anak nurut itu anak baik. Anak patuh itu anak sholeh. Betulkah? Anak sholeh karena otoritas kita? Anak baik karena hukuman keras kita. Lalu mengapa anak nurut tapi tindakannya sangat lambat, pekerjaannnya tidak becus atau tidak selesai. Hal itu termasuk cirri-ciri kepribadian ambivalen aktif, dimana anak tidak suka diperintah namun tak bias menolak. Akhirnya anak memprotes dengan perilaku pasif agresif, dimana anak menuruti semua perintah orang tua namun lambat misalnya. Hal itu sebagai bentuk perlawanan, biasanya kasus seperti ini terjadi pada anak dengan pola asuh otoriter, ada kekerasan fisik maupun verbal, serta tidak diberi otoritas untuk dirinya sendiri. Sehingga anak seperti dalam belenggu penjara, atau anak merasa seperti mau meledak. Banyak sekali orangtua yang tidak faham akan hal ini. Banyak orangtua menganggap diri telah berhasil karena melihat anak yang nurut-nurut saja. Bukankah semua hal yang terlalu itu adalah masalah? Terlalu nurut tanpa syarat itu mungkin bias diduga pasif agresif.
                Lalu apa bedanya anak pasif agresif dengan anak conforming? Anak pasif agresif akan jauh berbeda perilakunya ketika figure otoritas tidak ada bersamanya. Ia menjadi lebih merasa bebas, bertindak sesuai kehendaknya, serta melampiaskan apa yang selama ini dikekang oleh kedua orangtuanya. Namun anak conforming cenderung pasif. Ia bingung harus melakukan apa sehingga dimanapun ia akan menjadi anak yang menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Namun hasilnya, ia menjadi tidak memiliki prinsip dan selalu bingung, kadang ia ingin mandiri kadang juga ingin tergantung pada orang lain. Lalu mengapa kedua anak ambivalen ini bias terbentuk, baik aktif maupun pasif. Kemungkinan karena orangtua yang membingungkan, confusing. Hari ini mama bilang boleh, besok mama bilang ga boleh dalam perkara yangsama, misalnya. Lalu anak tak pernah diberikan alas an mengapa mereka diperintah sesuatu atau dilarang sesuatu, atau mengapa mereka dihukum atau diberi hadiah, semua abstrak tanpa penjelasan. Sehingga anak kebingungan dengan perilaku apa yang harus dia pilih kemudian. Baik anak pasif agresif maupun anak conforming terbentuk dari orangtua yang membingungkan atau figure oerangtua lain yang confusing.
                Pasif agresif memang biasanya tidak berbahaya sama sekali, hanya saja sangat mengesalkan. Selalu salah, tempo bekerja lambat, pekerjaan tidak selesai-selesai. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi anak seperti ini?
1.       Turunkan keegoisan kita karena merasa sebagai orangtua yang memiliki otoritas tanpa batas. Ingat anak itu milik Allah swt, yang dititipkan pada kita
2.       Dengarkan apa keinginannya, cita-citanya, harapannya, ambisinya serta impian-impiannya. Jangang pernah menyela atau memotong apalagi mengatakan buruk apa yang ia inginkan. Biarkan ia ungkapkan dulu. Bila memang buruk, kita beri ia pandangan dan pertanyaan, mana yang lebih baik? Apakah ada manfaatnya? Atau bisakah dia deskripsikan maksudnya. Karena jangan –jangan kita yang salah persepsi karena awalnya selalu merasa kita yang paling benar.
3.       Beri mereka kepercayaan untuk memilih, memutuskan, mengerjakan apa yang mereka ingin kerjakan. Jangan dikekang atau dimata-matai, cukup dipantau dengan laporan dari anak apa yang akan atau telah mereka kerjakan.
4.       Ajarkan anak untuk mengerjakan pekerjaan yang kita ingin dia kerjakan dengan mencontohkan mereka d